HARI raya Galungan diperkirakan sudah ada di Indonesia sejak abad XI.
Hal ini didasarkan atas beberapa fakta yang termuat dalam kidung Panji
Malat Rasmi dan Lontar Pararaton di Kerajaan Majapahit. Di India
perayaan semacam ini dinamakan hari raya Crada Wijaya Dasami. Di Bali,
keberadaaan hari raya Galungan beserta rangkaiannya dipertegas lagi
dalam Lontar Jayakasunu yang ada pada era pemerintahan Raja Sri
Jayakasunu. Sebelumnya perayaan Galungan sempat ditiadakan yang ternyata
mengakibatkan banyak rakyat pada waktu itu mengalami penderitaan.
Hari raya Galungan seperti diketahui memiliki rangkaian yang dimulai
jauh sebelum hari raya itu sendiri. Dimulai dengan hari Tumpek Wariga
dan selanjutnya menjelang seminggu sebelum Galungan, dikenal dengan
sugihan.
Dengan demikian bisa dikatakan sugihan termasuk salah satu rangkaian
upacara menyongsong Galungan. Sugihan terdiri atas tiga jenis yaitu
1. Sugihan Pangenten atau Sugihan Tenten,
2. Sugihan Jawa
3. Sugihan Bali.
Karena mengikuti perhitungan wuku,
masing-masing sugihan datang tiap 210 hari sekali. Ketiga sugihan secara
berturut-turut dimulai dari Buda Pon wuku Sungsang disebut Sugihan
Pangenten. Setelah Sugihan Pangenten, diikuti dengan Sugihan Jawa dan
Sugihan Bali.
Sugihan Pangenten bermakna ngingetin atau mengingatkan. Dalam
mitologinya berhubungan dengan keadaan Mpu Bradah ke Bali menghadap pada
Empu Kuturan dan usaha untuk mengangkat salah satu putra Raja Erlangga
untuk menjadi raja di Bali. Namun, Empu Kuturan menolak permintaan
tersebut dan Empu Baradah pun tersinggung lalu langsung meninggalkan
tanpa permisi untuk kembali ke Daha.
Ketersinggungan Mpu Baradah ini menimbulkan bhuta sebagai akibat
lepasnya pengendalian diri. Karena itulah, diingatkan supaya
pengendalian diri itu jangan sampai lepas agar bhuta kala dapat
dikendalikan. Sejak Sugihan Pangenten inilah mulai dimasukkan sebagai
Nguncal Balung yaitu dari wuku Sungsang sampai wuku Pahang, terutama
sejak wuku Dungulan sampai dengan Buda Kliwon Pahang.
Nguncal balung artinya tulang sebagai pengukuh tubuh pada manusia dan
binatang serta tempat melekatnya otot dan daging. Tanpa tulang, tubuh
tidak akan mempunyai kekuatan. Nguncal balung maksudnya melepaskan
kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif yang mudah dipengaruhi oleh
godaan sang kala tiga, dengan sifat-sifat kalanya, sehingga kembali ke
wujud semula atau Sang Hyang Tiga Wisesa.
Dalam Siwaisme disebut Siwa, kala dalam hal ini berarti energi atau
kekuatan. Sang Hyang Kala Tiga dalam wujud purusha (Kala Rudra) maupun
dalam wujud pradana (Durga Murti), sehingga kembali dalam keadaan somia
(tenang). Keadaan somia akan berpengruh terhadap semua ciptaannya.
Oleh sebab itu, pada saat nguncal balung ini kurang baik melakukan
pekerjaan-pekerjaan tertentu seperti membuat rumah, tempat pemujaan
termasuk penyuciaannya, membangun rumah tangga (kawin) dan sebagainya.
Di samping itu, ada pula yang tidak mau membeli ternak untuk dipelihara
atau dijadikan bibit.
Demikianlah pantangan-pantangan selama nguncal balung, yang pada
dasarnya lebih banyak bertujuan mengurangi aktivitas-aktivitas jasmani
agar dapat meningkatkan aktivitas rohani. Misalnya yang dilakukan oleh
pertapa atau yogi. Orang kebanyakan dalam mengurangi aktivitas fisiknya
dan lebih menekankan pada kegiatan ritualnya dapat melakukan kegiatan
yang bersifat menambah pengetahuan tentang agama, kesenian, dan
kemasyarakatan. Dengan kegiatan ini diharapkan umat Hindu dapat
mengurangi hal-hal yang mengarah pada pemuasan hawa nafsu yang
berlebih-lebihan.
Aktivitas ”Ngelawang”
Salah satu cara mencapai tujuan yang dimaksud, di beberapa daerah di
Bali pada saat Sugihan Pangenten ini melaksanakan kegiatan ngelawang
yaitu memakai barong dengan mengelilingi wilayah desa adatnya. Malahan
ada yang sampai ke luar jauh dari wilayah desanya dengan melewati tiap
lawang (pintu rumah penduduk) agar bhuta dengan segala kekuatannya
kembali ke tempatnya yang semula.
Dalam filosofi Hindu, munculnya para bhuta adalah akibat kekeliruan
pelaksanaan manusia dalam kehidupannya, sehingga pada saat itu Dewa
Trimurti menciptakan para bhuta. Dewa Brahma diutus menjadi topeng bang,
Dewa Wisnu menjadi telek dan Dewa Siwa menjadi barong. Selanjutnya
dalam ngelawang ini barong itulah di-iring untuk menyelamatkan manusia
terhadap godaan para bhuta dalam kehidupannya.
Sehari setelah Sugihan Pangenten disebut Sugihan Jawa.. Makna sugihan
ini adalah hari penyucian bhuwana agung yang disimbolkan dengan
melakukan pemujaan di tempat-tempat suci dan perumahan. Penyucian
dimaksud dilakukan secara sekala dan niskala. Bagi para wiku, sadaka,
hal ini dilakukan dengan mengucapkan japa mantra. Sedangkan para yogin
melakukan yoga semadi.
Selain penyucian juga dilaksanakan pamretistan Batara kabeh, dengan
upacara marerebu di sanggah atau pemerajan yang dilengkapi dengan
upacara pembersihan atau pangeresikan. Memakai sarana bunga harum.
Adapun tujuannya adalah menstanakan para dewa dan pitara.
Upakara-upakaranya disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan bangunan suci
yang ada. Untuk palinggih termasuk di dalamnya padmasana, meru, sanggah
kemulan, taksu, panunggun karang dan lain-lainnya yang sejenis memakai
pembersih (pangeresikan) berupa canang burat wangi lenga wangi, tirtha,
dupa dilengkapi dengan ajuman dan daksina (disesuaikan dengan desa kala
patra)
Palinggih yang lebih kecil memakai canang burat wangi lenga wangi.
Sementara penyucian secara umum memakai pangerebuan yang terdiri atas
satu tumpeng guru dengan alas kulit sesayut yang puncaknya diisi telur
itik rebus, 3, 5, 7 buah tumpeng biasa dilengkapi dengan jajan,
buah-buahan dan sampyan nagasari, sampyan peras. Dua sorohan alit 9
peras, tulung, sesayut) sangga urip, penyeneng, lis, bebuu,
pangeresikan, canang genten, lauk, pauk/rerasmen yang terdiri atas
daging ayam dipanggang, guling itik atau babi yang disesuaikan dengan
kemampuan.
Jumlah tumpeng dan dagingnya disesuaikan dengan jumlah palinggih yang
akan diupacarai marerebu. Misalnya untuk padmasana, sanggah kemulan dan
sejenisnya menurut tradisi tidak dibenarkan memakai daging atau babi
guling. Setelah dilaksanakan pembersihan secara sekala barulah
dilaksanakan pembersihan secara niskala yaitu mengaturkan upacara
pangerebuan. Apabila mempergunakan sebuah pangerebuan, diusahakan
memakai guling itik yang terlebih dahulu diaturkan dari bangunan suci
yang paling utama. Misalnya dari padamasana kemudian meru gedong taksu
dan seterusnya sampai pada bangunan yang kecil-kecil terakhir dilebar di
jaba atau halaman paling luar, disertai dengan segehan dan tetabuhan
arak berem.
Sugihan Bali merupakan hari penyucian terhadap diri sendirri bhuwana
alit. Upacara khusus pada hari ini sebenarnya tidak ada. Meski demikian,
pada hari ini perlu dilaksanakan upacara memohon tirtha pangelukatan
kehadapan sang sadaka atau sulinggih. Selain itu umat Hindu juga
hendaknya melakukan sembah sebagaimana layaknya pada hari-hari kajeng
kliwon yang lainnya. Semua pelaksanaan kegiatan sugihan ini hendaknya
dapat dilaksanakan sesuai desa kala patra.
Sugihan Jawa dan Bali
Banyak umat Hindu masih
bingung, merayakan Sugihan Jawa atau Sugihan Bali. Mereka mengira, kata
Jawa dan Bali adalah nama tempat. Pada hal tidak. Kata Jawa di sini
berarti “jaba” yang artinya di luar.
Dengan demikian, makna upacara Sugihan Jawa adalah penyucian makrokosmos
atau buana agung atau alam semesta sebagai tempat kehidupan.
Pembersihan ini secara sekala dilakukan dengan membersihkan palinggih
atau tempat-tempat suci yang digunakan sebagai tempat pemujaan. Diyakini
pada saat Sugihan Jawa ini, para dewa akan turun diiringi dengan para
luluhur untuk menerima persembahan.
Kemudian pada hari Sugihan Bali, umat Hindu menghaturkan sesaji yang
pada intinya melakukan penyucian buana alit atau diri sendiri
(mikrokosmos) sehingga bersih dari perbuatan-perbuatan yang ternoda.
Dengan adanya kesucian lahir dan batin itu, umat lebih bisa memaknai
Hari Suci Galungan, sebagai kemenangan dharma.
Pada hari ini sebaiknya umat melakukan tirta gocara atau tirta yatra
yakni dengan pergi ke samudera — sumber mata air atau bisa di merajan.
Dalam praktik yoga umat Hindu pada hari ini melakukan yoga semadi yang
ditujukan untuk mulat sarira. Untuk menyambut hari raya Galungan, umat
seharusnya memiliki kesucian batin dengan menahan diri dari segala macam
godaan indria.
Dengan demikian, Sugihan Jawa dan Sugihan Bali jika dilihat dari
konsepnya menyiapkan umat Hindu menghadapi berbagai gempuran dan godaan
duniawai yang datang menjelang hari raya Galungan. Pada kedua sugihan
ini, kekuatan rwa bhinneda diupayakan berada pada titik keseimbangan
untuk menuju pada ketenangan dan kedamaian.
Kamis, 06 Juni 2013
5
Rare Angon: Memaknai "Sugihan"
HARI raya Galungan diperkirakan sudah ada di Indonesia sejak abad XI. Hal ini didasarkan atas beberapa fakta yang termuat dalam kidung Panj...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar