+ -

Pages

Kamis, 06 Juni 2013

Memaknai "Sugihan"

HARI raya Galungan diperkirakan sudah ada di Indonesia sejak abad XI. Hal ini didasarkan atas beberapa fakta yang termuat dalam kidung Panji Malat Rasmi dan Lontar Pararaton di Kerajaan Majapahit. Di India perayaan semacam ini dinamakan hari raya Crada Wijaya Dasami. Di Bali, keberadaaan hari raya Galungan beserta rangkaiannya dipertegas lagi dalam Lontar Jayakasunu yang ada pada era pemerintahan Raja Sri Jayakasunu. Sebelumnya perayaan Galungan sempat ditiadakan yang ternyata mengakibatkan banyak rakyat pada waktu itu mengalami penderitaan.

Hari raya Galungan seperti diketahui memiliki rangkaian yang dimulai jauh sebelum hari raya itu sendiri. Dimulai dengan hari Tumpek Wariga dan selanjutnya menjelang seminggu sebelum Galungan, dikenal dengan sugihan.

Dengan demikian bisa dikatakan sugihan termasuk salah satu rangkaian upacara menyongsong Galungan. Sugihan terdiri atas tiga jenis yaitu
1. Sugihan Pangenten atau Sugihan Tenten,
2. Sugihan Jawa
3. Sugihan Bali.

Karena mengikuti perhitungan wuku, masing-masing sugihan datang tiap 210 hari sekali. Ketiga sugihan secara berturut-turut dimulai dari Buda Pon wuku Sungsang  disebut Sugihan Pangenten. Setelah Sugihan Pangenten, diikuti dengan Sugihan Jawa dan Sugihan Bali.

Sugihan Pangenten bermakna ngingetin atau mengingatkan. Dalam mitologinya berhubungan dengan keadaan Mpu Bradah ke Bali menghadap pada Empu Kuturan dan usaha untuk mengangkat salah satu putra Raja Erlangga untuk menjadi raja di Bali. Namun, Empu Kuturan menolak permintaan tersebut dan Empu Baradah pun tersinggung lalu langsung meninggalkan tanpa permisi untuk kembali ke Daha.

Ketersinggungan Mpu Baradah ini menimbulkan bhuta sebagai akibat lepasnya pengendalian diri. Karena itulah, diingatkan supaya pengendalian diri itu jangan sampai lepas agar bhuta kala dapat dikendalikan. Sejak Sugihan Pangenten inilah mulai dimasukkan sebagai Nguncal Balung yaitu dari wuku Sungsang sampai wuku Pahang, terutama sejak wuku Dungulan sampai dengan Buda Kliwon Pahang.

Nguncal balung artinya tulang sebagai pengukuh tubuh pada manusia dan binatang serta tempat melekatnya otot dan daging. Tanpa tulang, tubuh tidak akan mempunyai kekuatan. Nguncal balung maksudnya melepaskan kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif yang mudah dipengaruhi oleh godaan sang kala tiga, dengan sifat-sifat kalanya, sehingga kembali ke wujud semula atau Sang Hyang Tiga Wisesa.

Dalam Siwaisme disebut Siwa, kala dalam hal ini berarti energi atau kekuatan. Sang Hyang Kala Tiga dalam wujud purusha (Kala Rudra) maupun dalam wujud pradana (Durga Murti), sehingga kembali dalam keadaan somia (tenang). Keadaan somia akan berpengruh terhadap semua ciptaannya.

Oleh sebab itu, pada saat nguncal balung ini kurang baik melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu seperti membuat rumah, tempat pemujaan termasuk penyuciaannya, membangun rumah tangga (kawin) dan sebagainya. Di samping itu, ada pula yang tidak mau membeli ternak untuk dipelihara atau dijadikan bibit.
Demikianlah pantangan-pantangan selama nguncal balung, yang pada dasarnya lebih banyak bertujuan mengurangi aktivitas-aktivitas jasmani agar dapat meningkatkan aktivitas rohani. Misalnya yang dilakukan oleh pertapa atau yogi. Orang kebanyakan dalam mengurangi aktivitas fisiknya dan lebih menekankan pada kegiatan ritualnya dapat melakukan kegiatan yang bersifat menambah pengetahuan tentang agama, kesenian, dan kemasyarakatan. Dengan kegiatan ini diharapkan umat Hindu dapat mengurangi hal-hal yang mengarah pada pemuasan hawa nafsu yang berlebih-lebihan.


Aktivitas ”Ngelawang”

Salah satu cara mencapai tujuan yang dimaksud, di beberapa daerah di Bali pada saat Sugihan Pangenten ini melaksanakan kegiatan ngelawang yaitu memakai barong dengan mengelilingi wilayah desa adatnya. Malahan ada yang sampai ke luar jauh dari wilayah desanya dengan melewati tiap lawang (pintu rumah penduduk) agar bhuta dengan segala kekuatannya kembali ke tempatnya yang semula.

Dalam filosofi Hindu, munculnya para bhuta adalah akibat kekeliruan pelaksanaan manusia dalam kehidupannya, sehingga pada saat itu Dewa Trimurti menciptakan para bhuta. Dewa Brahma diutus menjadi topeng bang, Dewa Wisnu menjadi telek dan Dewa Siwa menjadi barong. Selanjutnya dalam ngelawang ini barong itulah di-iring untuk menyelamatkan manusia terhadap godaan para bhuta dalam kehidupannya.
Sehari setelah Sugihan Pangenten disebut Sugihan Jawa.. Makna sugihan ini adalah hari penyucian bhuwana agung yang disimbolkan dengan melakukan pemujaan di tempat-tempat suci dan perumahan. Penyucian dimaksud dilakukan secara sekala dan niskala. Bagi para wiku, sadaka, hal ini dilakukan dengan mengucapkan japa mantra. Sedangkan para yogin melakukan yoga semadi.

Selain penyucian juga dilaksanakan pamretistan Batara kabeh, dengan upacara marerebu di sanggah atau pemerajan yang dilengkapi dengan upacara pembersihan atau pangeresikan. Memakai sarana bunga harum. Adapun tujuannya adalah menstanakan para dewa dan pitara.

Upakara-upakaranya disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan bangunan suci yang ada. Untuk palinggih termasuk di dalamnya padmasana, meru, sanggah kemulan, taksu, panunggun karang dan lain-lainnya yang sejenis memakai pembersih (pangeresikan) berupa canang burat wangi lenga wangi, tirtha, dupa dilengkapi dengan ajuman dan daksina (disesuaikan dengan desa kala patra)

Palinggih yang lebih kecil memakai canang burat wangi lenga wangi. Sementara penyucian secara umum memakai pangerebuan yang terdiri atas satu tumpeng guru dengan alas kulit sesayut yang puncaknya diisi telur itik rebus, 3, 5, 7 buah tumpeng biasa dilengkapi dengan jajan, buah-buahan dan sampyan nagasari, sampyan peras. Dua sorohan alit 9 peras, tulung, sesayut) sangga urip, penyeneng, lis, bebuu, pangeresikan, canang genten, lauk, pauk/rerasmen yang terdiri atas daging ayam dipanggang, guling itik atau babi yang disesuaikan dengan kemampuan.

Jumlah tumpeng dan dagingnya disesuaikan dengan jumlah palinggih yang akan diupacarai marerebu. Misalnya untuk padmasana, sanggah kemulan dan sejenisnya menurut tradisi tidak dibenarkan memakai daging atau babi guling. Setelah dilaksanakan pembersihan secara sekala barulah dilaksanakan pembersihan secara niskala yaitu mengaturkan upacara pangerebuan. Apabila mempergunakan sebuah pangerebuan, diusahakan memakai guling itik yang terlebih dahulu diaturkan dari bangunan suci yang paling utama. Misalnya dari padamasana kemudian meru gedong taksu dan seterusnya sampai pada bangunan yang kecil-kecil terakhir dilebar di jaba atau halaman paling luar, disertai dengan segehan dan tetabuhan arak berem.

Sugihan Bali merupakan hari penyucian terhadap diri sendirri bhuwana alit. Upacara khusus pada hari ini sebenarnya tidak ada. Meski demikian, pada hari ini perlu dilaksanakan upacara memohon tirtha pangelukatan kehadapan sang sadaka atau sulinggih. Selain itu umat Hindu juga hendaknya melakukan sembah sebagaimana layaknya pada hari-hari kajeng kliwon yang lainnya. Semua pelaksanaan kegiatan sugihan ini hendaknya dapat dilaksanakan sesuai desa kala patra.


Sugihan Jawa dan Bali

 Banyak umat Hindu masih bingung, merayakan Sugihan Jawa atau Sugihan Bali. Mereka mengira, kata Jawa dan Bali adalah nama tempat. Pada hal tidak. Kata Jawa di sini berarti “jaba” yang artinya di luar.
Dengan demikian, makna upacara Sugihan Jawa adalah penyucian makrokosmos atau buana agung atau alam semesta sebagai tempat kehidupan. Pembersihan ini secara sekala dilakukan dengan membersihkan palinggih atau tempat-tempat suci yang digunakan sebagai tempat pemujaan. Diyakini pada saat Sugihan Jawa ini, para dewa akan turun diiringi dengan para luluhur untuk menerima persembahan.

Kemudian pada hari Sugihan Bali, umat Hindu menghaturkan sesaji yang pada intinya melakukan penyucian buana alit atau diri sendiri (mikrokosmos) sehingga bersih dari perbuatan-perbuatan yang ternoda. Dengan adanya kesucian lahir dan batin itu, umat lebih bisa memaknai Hari Suci Galungan, sebagai kemenangan dharma.

Pada hari ini sebaiknya umat melakukan tirta gocara atau tirta yatra yakni dengan pergi ke samudera — sumber mata air atau bisa di merajan. Dalam praktik yoga umat Hindu pada hari ini melakukan yoga semadi yang ditujukan untuk mulat sarira. Untuk menyambut hari raya Galungan, umat seharusnya memiliki kesucian batin dengan menahan diri dari segala macam godaan indria.

Dengan demikian, Sugihan Jawa dan Sugihan Bali jika dilihat dari konsepnya menyiapkan umat Hindu menghadapi berbagai gempuran dan godaan duniawai yang datang menjelang hari raya Galungan. Pada kedua sugihan ini, kekuatan rwa bhinneda diupayakan berada pada titik keseimbangan untuk menuju pada ketenangan dan kedamaian.
5 Rare Angon: Memaknai "Sugihan" HARI raya Galungan diperkirakan sudah ada di Indonesia sejak abad XI. Hal ini didasarkan atas beberapa fakta yang termuat dalam kidung Panj...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

< >