Dengan hadirnya kemantapan Ahimsa, rasa permusuhan tidak punya tempat
berpijak (vairatyaga). Dengan hadirnya kemantapan Satya, ketulusan di
dalam menyerahkan kerja dan hasilnya dimungkinkan (phalasrayatvam).
Dengan hadirnya kemantapan Asteya, semua ‘kekayaan’ mendekat dengan
sendirinya bagi Sang Yogi. Dengan hadirnya kemantapan Brahmacarya,
semangat spiritual yang kuat (virya) diperoleh. Dengan hadirnya
kemantapan Aparigraha, muncullah pemahaman yang baik tentang proses
kelahiran manusia (janma kathamta).
[YS II.35 - II.39]
Hasil-hasil nyata berupa perkembangan sikap batin lewat pelaksanaan
kelima sumpah batin yang diterapkan berupa disiplin mental atau
moral-etik dipaparkan dalam kelima sutra ini. Ini semestinya lebih
menyadarkan kita kalau Asana disini bukan semata-mata sebagai olah tubuh
ataupun sikap-sikap tubuh tertentu saja, seperti yang umumnya kita
pahami sebelumnya. Ini akan kita bicarakan lebih lanjut pada ulasan
terhadap sutra II.46 – II.48.
Di Indonesia, ia lebih dikenal dengan sebutan Panca Yama Brata, atau
ada pula yang memberinya sebutan Panca Sila, yang bersama dengan Panca
Niyama Brata membentuk Dasasila. Tidak membunuh atau menyiksa makhluk
hidup, tidak mencuri, tidak berjinah atau melakukan perbuatan asusila,
tidak berbohong atau berkata-kata tidak jujur, dan tidak mabuk-mabukan
atau menghindari yang memabukkan merupakan lima ajaran moral-etik
buddhis, yang juga disebut Panca Sila.
Ajaran moral-etik adalah ajaran praktis, yang harus diterapkan
langsung dalam kehidupan sehari-hari. Mereka jelas bukan sekedar untuk
dihafal. Seperti yang disebutkan dalam sutra II.30 dan II.31, Yama mesti
diposisikan sebagai mahavrata —sumpah universal yang agung.
Ahimsa dipraktekkan dengan tiada menyakiti baik lewat pemikiran,
ucapan, maupun tindakan fisik. Banyak yang memandang Gandhi sebagai
‘Nabi Ahimsa’, mengingat perjuangan kemerdekaannya yang tanpa kekerasan
fisik. Bahkan sebutan Mahatma —‘manusia yang berjiwa besar’— diberikan
oleh Rabindranath Tagore, pemenang nobel sastra dan penggubah
“Gitanjali” yang termasyur itu, kepadanya.
Ahimsa bukan saja merupakan pengkondisi ketentraman hati dari setiap
pelakunya, namun ia secara aktif ikut menjaga kedamaian dunia.
Pertanyaannya kini adalah: Bagaimana melatih Ahimsa atau penerapan
praktisnya dalam kehidupan sehari-hari?
Berikut ini saya sertakan petunjuk-petunjuk dari Sri Swami Sivananda.
Manakala pemikiran untuk membalas dendam dan kebencian muncul, cobalah
mengendalikan tindakan dan ucapan Anda terlebih dahulu. Jangan
sekali-kali ikuti godaan setan dengan mengucapkan kata-kata kasar.
Jangan lemah! Janganlah mencoba menyakiti orang lain. Bila Anda berhasil
mempraktekkannya dalam beberapa bulan, pemikiran-pemikiran negatif yang
dimunculkan oleh kebencian, tak akan punya kesempatan untuk menampakkan
dirinya ke luar, merekapun akan mati dengan sendirinya.
Awalnya memang amat sulit mengendalikan pemikiran-pemikiran serupa
itu, tanpa upaya untuk mengendalikannya terlebih dahulu. Pertama-tama
kendalikanlah jasmani Anda. Ketika seseorang memukulmu, berdiamlah.
Tekan perasaanmu. Ikutilah perintah Jesus Kristus dalam ‘Kotbah di atas
Bukit’-nya: “Bila seseorang menampar sebelah pipimu, serahkanlah pipimu
yang sebelah lagi. Bila seseorang mengambil jaketmu, berikanlah ia
kemejamu juga”. Tentu saja ini amat sulit pada awalnya. Kesan-kesan tua
yang terlanjur tersimpan untuk membalas, seperti ‘sebuah gigi, bagi
sebuah gigi’, ‘sebuah mata untuk sebuah mata’ dan ‘membayar dengan koin
yang sama’, akan menekan Anda untuk berontak. Namun Anda mesti menunggu
dahulu hati Anda mendingin. Refleksikanlah itu dan bermeditasilah
terhadapnya.
Lakukanlah upaya mempertanyakannya atau upaya yang benar lainnya.
Batin Anda akan menjadi kalem. Sang musuh yang tadinya mencak-mencakpun
akan menjadi kalem, karena ia tak mendapat tantangan dari pihak Anda.
Iapun akan tertegun dan mendingin, oleh karena Anda tetap tegar layaknya
orang suci. Demikianlah, Andapun akan memperoleh kekuatan di dalam diri
Anda. Jagalah prinsip itu. Cobalah selalu untuk melakukannya, walaupun
awal-awalnya Anda gagal. Milikilah sikap yang jelas dan nyata dari citra
Ahimsa serta manfaatnya yang pasti.
Nah…setelah berlatih mengend alikan tubuh Anda, kini latihlah ucapan.
Ambil sebentuk kebulatan tekad, “Mulai saat ini saya tak akan
mengucapkan kata-kata kasar kepada siapapun juga”. Awalnya Anda bisa
saja gagal beratus-ratus kali. Tak mengapa. Secara lambat namun pasti
Anda akan memperoleh kekuatan itu. Periksalah impuls dari ucapan Anda.
Latihlah Mouna (diam).
Praktekkanlah Kshama (memaafkan). Dan katakanlah pada diri Anda: “Ia
masih berjiwa kekanak-kanakan. Ia lalai; itulah sebabnya ia melakukan
itu. Biarlah saya memaafkannya kali ini. Manfaat apa yang saya peroleh
dengan membalas tindakannya itu?” Hentikanlah kemelekatan pada ke-aku-an
(Abhimana) perlahan-lahan. Abhimana adalah akar dari semua penderitaan
yang dialami manusia. Akhirnya mulailah memeriksa dan mengamati dengan
seksama bentuk-bentuk pemikiran —di benak Anda— yang bersifat menyakiti.
Jangan sekali-kali berpikir untuk mencelakai orang lain.
Diri-Jati menyelusupi semuanya. Semuanya adalah manifestasi dari Yang
Esa. Dengan menyakiti yang lain, sesungguhnya Anda juga menyakiti
Diri-Jati Anda. Dengan melayani orang lain, Anda juga melayani Diri-Jati
Anda. Kasihilah semua. Layani semua. Jangan membenci siapapun.
Janganlah menyakiti siapapun melalui pikiran, ucapan dan tindakan atau
prilaku Anda. Cobalah selalu memandang bahwa Diri-Jati yang ada pada
Anda juga ada pada semua orang. Inilah yang akan menghadirkan Ahimsa.
Satya diterapkan melalui kejujuran dan senantiasa dalam jalur
kebenaran. Setiap manusia punya hati-nurani. Kita tak dapat
membohonginya. Ia adalah saksi yang senantiasa hadir kemanapun kita
melangkah. Kata hati-nurani inilah yang dapat dipegang kejujurannya.
Namun berhati-hatilah! Ini seringkali amat mengelirukan, sehingga banyak
orang menyangka kalau kilasan emosi atau pemikiran sesaat sebagai kata
hati-nurani. Ia jauh lebih dalam daripada itu.
Kecuali Ahimsa yang telah dikenal luas, Satyagraha adalah ajaran dan
apa yang juga diterapkan Gandhi. Ia berarti senantiasa bersemayam dalam
kebenaran. Menurut Gandhi Satyagraha adalah: perwujudan baru dari
Sanatana Dharma (Ajaran Kebenaran Abadi), sama dengan kekuatan
kebenaran, kekuatan cinta-kasih dan kekuatan batin, dasar dari kehidupan
bersama dalam masyarakat.
Asteya diterapkan dengan tidak melakukan pencurian. Ia bahkan diterapkan
sebagai tidak menginginkan milik orang lain, apalagi berupaya
merebutnya dengan cara-cara curang, bujuk-rayu, tipu-muslihat,
sampai-sampai melakukan pemaksaan fisik. Lebih jauh lagi, ia hendaklah
dimaknai sebagai ajaran moral-etik yang mendukung kehidupan tapa,
mengekang nafsu-keinginan.
Sri Sankarãcharya pernah berujar:
“Brahmacharya atau kesucian tanpa noda merupakan yang terbaik diantara
semua upaya penebusan dosa; seorang Brahmacharin, yang suci tanpa noda,
bukan lagi sosok manusia, namun sesungguhnya seorang dewa… Bagi
pembujang yang menyimpan mani-nya melalui upaya besar ini, apa yang
tiada mampu ia capai di dunia ini? Menggunakan kekuatan yang terhimpun
dalam mani, seseorang akan menjadi seperti Diriku.”
Brahmacarya juga diterapkan tidak sebatas hidup membujang atau tidak
melakukan jinah; akan tetapi dengan selalu mendambakan penyatuan dan
berusaha untuk tetap melekat pada Brahman Yang Agung. Dalam pengertian
sempitnya, kehidupan membujang memang terbukti menunjukkan manfaat besar
di dalam mendorong kemajuan spiritual, seperti yang dipaparkan oleh Sri
Swami Sivananda dalam buku “Practice of Brahmacharya”. Beliau sendiri
juga menjalani hidup membujang. Namun beliau juga mengatakan bahwa,
dalam pengertian yang luas, ia berarti pengendalian mutlak terhadap
sensasi-sensasi indriawi.
Mahatma Gandhi dalam “The Gandhi Sutra” —yang disusun oleh Prof. D.S.
Sarma— juga berpendapat sama tentang Brahmacarya. Kata Gandhi:
“Menjalankan Brahmacarya menurut pernyataan orang-orang sangat sukar,
jika bukan mustahil. Jika kita coba menyelidiki apa sebabnya orang
mengatakan demikian, maka akan ternyata bahwa mereka memberikan arti
yang terlalu sempit pada istilah Brahmacarya ini. Mereka menyangka bahwa
Brahmacarya hanyalah penahanan nafsu-birahi saja. Saya rasa pandangan
ini kurang tepat. Brahmacarya berarti penguasaan seluruh indria. Orang
yang berusaha menguasai hanya satu indria dan mengabaikan, membiarkan
indria-indria yang lainnya, segera akan insyaf bahwa usahanya itu tidak
ada gunanya samasekali….Brahmacarya berarti penuntun kelakukan kita
dalam menemukan Brahman (Hakekat Kebenaran Sejati)”. Inilah yang
melahirkan kekuatan semangat (virya) untuk berusaha terus-menerus. Ini
terkait erat dengan Isvarapranidhana, berlindung dan menyerahkan-diri
kepada Tuhan, salah-satu poin terpenting dalam Niyama.
Aparigraha diterapkan sebagai tidak-rakus, tidak berlebih-lebihan di
dalam menimbun harta-benda dan menikmati kemewahan duniawi. Ia merupakan
lawan-tanding dari lobha, dalam penerapan metode pratipaksa bhavana. Ia
juga berhubungan erat dengan Tapa. Sri Swami Sivananda mengingatkan
bahwa, bila ingin sukses dalam Yoga, maka terapkanlah Tapa dan
Brahmacarya.
Jadi, tampak jelas bahwa dalam penerapannya, Yama tak dapat
dipisahkan begitu saja dari Niyama —yang akan kita bicarakan belakangan.
Keduanya setangkup, membentuk Dasasila, yang secara kondusif membentuk
sikap-batin luhur dan kejernihan hati, serta menjanjikan kemajuan pesat
dan keberhasilan dalam Yoga.
Sauca membangkitkan kemuakan terhadap jasad (savãnga) dan ke-engganan
untuk mengadakan hubungan fisik dengan jasad lain. Dengan pemurnian
mental (sattvasuddhi) muncul keriangan, daya konsentrasi, penaklukan
indria, dan kesiapan untuk menerima pemahaman Sang Diri-Jati (jayãttma
darsana). Dari Santosa, kebahagiaan tertinggi (anuttama sukha)
diperoleh. Kesempurnaan kinerja organ-organ indria datang bersamaan
dengan hancurnya kekotoran batin melalui Tapa. Melalui Svadhyaya dicapai
penyatuan dengan Istadevata.
Pencapaian Samãdhi merupakan siddhi dari praktek Isvarapranidhana.
[YS II.40 - II.45]
Enam sloka inilah yang menguraikan (terutama) tentang keampuhan dari
pelaksanaan kelima disiplin mental Niyama. Di Nusantara, pelaksanaan
kelima disiplin mental atau ajaran moral-etik ini dikenal sebagai Panca
Niyama Brata.
Tapa, Svadhyaya dan Isvarapranidhana telah dipaparkan terdahulu dalam
kaitannya dengan Kriya Yoga [YS II.1 - II.2]. Sutra II.40, yang
menyebutkan bahwa, Sauca membangkitkan kemuakan terhadap jasad (savãnga)
dan keengganan untuk mengadakan hubungan fisik dengan jasad lain, bukan
dimaksudkan sebagai anjuran untuk menarik diri dari masyakat atau
pergaulan sosial. Salah-tanggap seperti ini sangat mungkin terjadi. Ia
lebih diarahkan pada pengikisan raga-dvesa, nafsu dan rasa-kepemilikan
dan kemelekatan. Jadi ia juga berkaitan erat dengan upaya mempertipis
egoisme itu sendiri.
Sauca adalah kesucian lahir-batin. Dalam sutra II.41 tadi disebutkan
pengembangan batin atau sikap-mental yang dicapai melalui Sauca sebagai:
· Sattvasuddhi —kemurnian daya pemilah,
· Saumanasya —keriangan hati,
· Ekagrata —keterpusatan pikiran yang kokoh,
· Indriajaya —penguasaan terhadap nafsu indriawi dengan baik, dan
· Atmadarsana —visi Sang Diri-Jati atau Atman.
Santosa adalah kepuasan-batin. Kepuasan-batin, tidak berlandaskan
pada pemenuhan atau memuasi dorongan indria. Kepuasan-batin tidak
dicapai melalui penimbunan dan penguasaan materi, karena materi tidak
akan pernah mampu memuaskan siapapun secara batiniah. Dicapainya Santosa
membangkitkan kegairahan dan semangat baru dalam berbagai sendi
kehidupan—fisikal, mental maupun spiritual.
Secara keseluruhan, Niyama kait-mengait satu dengan yang lainnya;
yang satu mendukung dan menguatkan yang lainnya. Mungkin mengingat akan
betapa fundamentalnya sikap-mental luhur bagi seorang siswa spiritual,
Shrii Shrii Anandamurti —gurubesar dari Ananda Marga— juga menekankan
penerapan 15 sila tambahan, disamping Yama-Niyama; masing-masing adalah:
· Bersifat mengampuni, memaafkan.
· Berjiwa besar.
· Dengan penuh kesadaran mengendalikan perilaku dan kemarahan.
· Tyaga, siap mengorbankan segalanya yang besifat pribadi untuk kepentingan ideologi.
· Mengendalikan diri sepenuhnya.
· Berpenampilan manis dan murah senyum. · Memiliki keberanian-moral.
· Dapat dijadikan panutan; dapat melakukannya sebelum menyuruh orang lain melakukan suatu kegiatan tertentu.
· Membebaskan diri dari kebiasaan mencela, menyalahkan orang lain, ‘menusuk dari belakang’, serta berpandangan ‘kelompokisme’.
· Dengan ketat melaksanakan Yama dan Niyama. · Apabila suatu kesalahan
dilakukan tanpa disengaja—karena kurang berhati-hati—dan kemudian
disadari, maka kesalahan itu segera harus diakui dan minta hukuman
atasnya.
· Meski ketika sedang berhadapan dengan seorang yang sangat kasarpun,
harus membebaskan diri dari kebencian, kemarahan, dan kesombongan. ·
Bebaskan diri dari kebiasaan terlalu banyak bicara atau beromong-kosong.
· Taat kepada disiplin yang sudah disusun dan disepakati.
· Miliki rasa tanggungjawab.
Wrhaspati Tattwa —yang memuat wejangan-wejangan Hyang Siva kepada
Bhagawan Wrhaspati, Guru para dewa—juga menyebutkan Dasasila tidak jauh
berbedanya secara esensial dengan Yama-Niyama. Hyang Siva menegaskan
kepada Wrhaspati: “Usahakanlah jiwa itu sebagai alat untuk melaksanakan
Yoga-Samãdhi. Janganlah menunda-nunda, usahakanlah sadhana itu. Yang
disebut sadhana adalah Yogamarga yang didasari Dasasila. Dasasila itu
membangun Yoga….Dasasila merupakan penjaga Sang Yogiswara dalam
Samãdhi-nya. Disitulah Sang Yogiswara akan menemukan pengetahuan tentang
Kebebasan dari pengaruh Mayatattwa”.
Setelah mengikuti paparan panjang-lebar dalam lingkup Yama-Niyama
yang disajikan dalam banyak sutra oleh Patanjali, menyimaknya dengan
seksama merenungkan arahnya, terlihat kalau sadhaka diarahkan untuk
mengembangkan Catur Paramãrtha —empat sifat atau sikap-batin luhur
keilahian. Walau paparan pengenalan pada ke-empat sikap-batin luhur
keilahian tersebut hanya dipaparkan sepintas pada sutra I.32 sampai
I.34, namun mereka disebut sebagai pendukung utama pemusnah derita
(dukha). Penerapannya, mengkondisikan batin sedemikian rupa tenang,
mantap, penuh kegairahan serta mengeliminir halangan-halangan tak perlu
di dalam melaksanakan sadhana demi sadhana.
Disadari bahwa, pelatihan tubuh dalam asana juga amat menunjang
kesehatan sang sadhaka. Dalam perjalanan panjang, pendakian yang semakin
curam dan licin yang dipenuhi onak dan kerikil-kerikil tajam, seorang
pendaki butuh ketahanan fisik maupun mental yang prima. Ketahanan fisik
mana pada gilirannya akan amat menunjang ketahanan mental-spiritual.
Kondisi prima inilah yang hendak dimantapkan lagi dalam paparan
sutra-sutra terkait dengan Asana dan Pranayama berikut.
Kamis, 06 Juni 2013
5
Rare Angon: Ahimsa
Dengan hadirnya kemantapan Ahimsa, rasa permusuhan tidak punya tempat berpijak (vairatyaga). Dengan hadirnya kemantapan Satya, ketulusan di...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar